PEMBERIAN KUASA DALAM HUKUM INDONESIA
Selasa, 01 November 2011
Hukum Perdata,
Isi Surat Kuasa,
Kuasa Istimewa,
Kuasa Perantara,
Pemberian Kuasa,
Surat Kuasa Khusus,
Surat Kuasa Sidang,
Surat Kuasa Umum,
Syarat Surat Kuasa
Surat kuasa secara umum diatur dalam BW, buku ketiga tentang perikatan, tepatnya pada bab yang ke XVI dalam pasal 1792 yang menyebutkan “Pemberian kuasa ialah suatu persetujuan yang berisikan pemberian kekuasaan kepada orang lain yang menerimanya untuk melaksanakan sesuatu atas nama orang yang memberikan kuasa”.
Dilihat dari cara merumuskan, pemberian kuasa dibedakan menjadi dua jenis yaitu kuasa khusus dan kuasa umum. Hal ini sesuai dengan Pasal 1795 BW yang menyatakan “Pemberian kuasa dapat dilakukan secara khusus, yaitu hanya mengenai satu kepentingan tertentu atau lebih, atau secara umum, yaitu meliputi segala kepentingan pemberi kuasa”.
Dilihat dari jenis surat kuasa yang diatur dalam undang-undang dapat dibedakan menjadi 4 jenis surat kuasa, yaitu:
1. Kuasa Umum
Dalam pasal 1796 KUH Perdata, menyatakan Pemberian kuasa yang dirumuskan secara umum hanya meliputi tindakan-tindakan yang menyangkut pengurusan. Untuk memindahtangankan barang atau meletakkan hipotek di atasnya, untuk membuat suatu perdamaian, ataupun melakukan tindakan lain yang hanya dapat dilakukan oleh seorang pemilik, diperlukan suatu pemberian kuasa dengan kata-kata yang tegas. Titik berat kuasa umum, hanya meliputi perbuatan atau tindakan pengurusan kepentingan pemberi kuasa. Contohnya: seorang manager suatu perusahaan yang diberikan kuasa bertindak untuk dan atas nama perseroan terbatas (PT) berdasarkan surat kuasa dari Direktur PT, dia dapat melakukan tindakan yang mewakili Direktur tersebut untuk melakukan hal yang dipersyaratkan dalam pasal 1796 KUH Perdata tadi, seperti salah satu contoh berdasarkan pasal tadi yaitu melakukan pemindahan barang-barang produksi dari satu tempat ke tempat yang lain, atau juga tindakan-tindakan seperti transaksi jual-beli tergantung dengan batas dalam kuasa yang diberikan. namun, ditinjau dari segi hukum, untuk surat kuasa ini tidak dapat digunakan dalam sidang di pengadilan. Sebab, sesuai dengan ketentuan lain yang termuat dalam pasal 123 HIR (HERZIEN INLANDSCH REGLEMENT) / pasal 147 RBg (REGLEMENT TOT REGELING VAN HET RECHTSWEZEN IN DE GEWESTEN BUITEN JAVA EN) yang menyatakan bahwa untuk dapat tampil di depan pengadilan sebagai wakil pemberi kuasa, penerima kuasa harus mendapat surat kuasa istimewa (khusus). Jadi berhubung kepada contoh tadi, apabila terjadi permasalahan hukum pada PT tersebut dan masuk ke dalam persidangan dipengadilan, maka sang manajer tidak dapat bertindak mewakili PT tersebut kecuali kepadanya telah diberika surat kuasa khusus.
2. Kuasa Khusus
Dalam surat kuasa ini, pemberian kuasa dilakukan secara khusus, yaitu hanya mengenai suatu kepentingan atau lebih. Bentuk inilah yang menjadi landasan pemberian kuasa untuk bertindak di depan pengadilan mewakili kepentingan pemberi kuasa sebagai pihak principal. Namun untuk dapat digunakan dalam persidangan, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi dalam pembuatan surat kuasa khusus ini, tidak bisa hanya mengiktui ketentuan sesuai dengan pasal 123 HIR ayat (1), yang menyatakan Bilamana dikehendaki, kedua belah pihak dapat dibantu atau diwakili oleh kuasa, yang dikuasakannya untuk melakukan itu dengan surat kuasa khusus, kecuali kalau yang memberi kuasa itu sendiri hadir. Penggugat dapat juga memberi kuasa itu dalam surat permintaan yang ditanda tanganinya dan dimasukkan menurut ayat pertama pasal 118 atau jika gugatan dilakukan dengan lisan menurut pasal 120, maka dalam hal terakhir ini, yang demikian itu harus disebutkan dalam catatan yang dibuat surat gugat ini. Apabila kita lihat dari makna yang terkandung pada pasal tersebut dari sudut pandang pengaturan pembuatan pemberian kuasa, surat kuasa khusus dalam format pasal ini sangat lah sederhana, hanya dengan memberikan judul khusus pada surat kuasa, kemudian dibuat dalam bentuk tertulis. Bentuk yang terlalu sederhana ini dalam perkembangan sejarah peradilan di Indonesia dinilai sudah tidak tepat lagi, sehingga dilakukan lah penyempuranaan oleh MA melalui SEMA (surat edaran Mahkamah Agung) tentang ciri surat kuasa khusus yang benar-benar dapat membedakannya dengan surat kuasa umum. Dalam perkembangan nya SEMA ini juga mengalami beberapa pergantian, dimulai dari SEMA No.2 Tahun 1959, sampai dengan yang terakhir SEMA No. 6 tahun 1994, 14 Oktober 1994. Dalam SEMA yang terakhir, pada dasarnya lebih kembali menyerupai dengan syarat pembuatan surat kuasa khusus yang diatur pada SEMA No.02 Tahun 1959, karena SEMA ini dianggap lebih tepat untuk penyempurnaan ciri dari surat kuasa khusus dibanding dengan SEMA setelahnya -sebelum SEMA terakhir-. Persyaratan pembuat surat kuasa khusus menurut SEMA ini yaitu:
- Dalam surat kuasa khusus harus menyebutkan dengan jelas dan spesifik surat kuasa, untuk berperan di pengadilan
- Menyebutkan tentang kompetensi relatif
- Menyebut identitas dan kedudukan para pihak secara jelas, dan
- Menyebut secara ringkas dan kongkret pokok dan obyek sengketa yang diperkarakan.
Dan seluruh syarat diatas bersifat kumulatif. Apabila ada salah satu dari syarat diatas tidak dipenuhi, maka akan mengakibatkan kuasa tidak sah.
3. Kuasa Istimewa
Surat kuasa istimewa diatur dalam pasal 157 HIR (pasal 187 RBg), yang menyatakan Sumpah itu, baik yang diperintahkan oleh hakim, maupun yang diminta atau ditolak oleh satu pihak lain, dengan sendiri harus diangkatnya kecuali kalau ketua pengadilan negeri memberi izin kepada satu pihak, karena sebab yang penting, akan menyuruh bersumpah seorang wakil istimewa yang dikuasakan untuk mengangkat sumpah itu, kuasa yang mana hanya dapat diberi dengan surat yang syah, di mana dengan saksama dan cukup disebutkan sumpah yang akan diangkat itu. Dari hal tersebut, kita bisa lihat bahwa surat kuasa ini baru bisa digunakan dalam pengadilan apabila seseorang dalam melakukan sumpah nya di pengadilan berhalangan dengan sebab yang penting -contohnya dalam kondisi sakit-. Jadi, entang lingkup tindakan yang dapat diwakilkan berdasarkan kuasa istimewa , hanya terbatas:
- untuk mengucapkan sumpah tertentu atau sumpah tambahan sesuai aturan perundang-undangan,
- untuk memindahtangankan benda-benda milik pemberi kuasa, atau meletakan hipotek (hak tanggungan) diatas benda tersebut,
- dan untuk membuat perdamaian dengan pihak ketiga.
Untuk kuasa istimewa ini dalam pasal diatas dinyatakan bahwa hanya dapat diberikan dengan surat yang sah. Untuk surat sah sendiri, diberikan tafsir oleh para praktisi hukum, adalah surat yang berbentuk akta otentik. Dengan kata lain, pembuatan surat ini harus dibuat dalam akte notaris dan ditegaskan dengan kata-kata yang jelas, mengenai tindakan apa yang hendak dilakukan oleh penerima kuasa.
Secara kesimpulan, surat kuasa istimewa ini memiliki dua syarat untuk dianggap sah, yaitu bersifat terbatas (limitatif) dan bentuk akte otentik.
4. Kuasa Perantara
Surat kuasa perantara disebut juga agen (agent). Dalam hal ini pemberi kuasa sebagai principal memberi perintah (instruction) kepada pihak kedua dalam kedudukannya sebagai agen atau perwakilan untuk melakukan perbuatan hukum tertentu dengan pihak ketiga. Apa yang dilakukan agen, mengikat principal sebagi pemberi kuasa, sepanjang tidak bertentangan atau melampaui batas kewenangan yang diberikan. Kuasa ini berdasar dengan pasal 1972 KUH Perdata yang mengatur secara umum tentang surat kuasa, dan pasal 62 KUHD yang menyatakan Makelar adalah pedagang perantara yang diangkat oleh Gubernur Jenderal (dalam hal ini Presiden) atau oleh penguasa yang oleh Presiden dinyatakan berwenang untuk itu. Mereka menyelenggarakan perusahaan mereka dengan melakukan pekerjaan seperti yang dimaksud dalam pasal 64 dengan mendapat upah atau provisi tertentu, atas amanat dan atas nama orang-orang lain yang dengan mereka tidak terdapat hubungan kerja tetap. Sebelum diperbolehkan melakukan pekerjaan, mereka harus bersumpah di depan raad van justitie di mana Ia termasuk dalam daerah hukumnya, bahwa mereka akan menunaikan kewajiban yang dibebankan dengan jujur.
0 Response to "PEMBERIAN KUASA DALAM HUKUM INDONESIA"
Posting Komentar