PEMBATALAN PERJANJIAN
Secara konsep, perikatan adalah hubungan hukum antara dua pihak atau lebih, dimana didalamnya terdapat hubungan hak dan kewajiban antara masing-masing pihak yang harus dipenuhi. Sedangkan sumber perikatan itu sendiri adalah bak itu berasal dari persetujuan (perjanjian/overeenskomst) ataupun dari undang-undang (peraturan hukum).
Untuk mengadakan perjanjian, maka para pihak harus mengacu Pasal 1320 BW sebagai syarat sahnya perjanjian yang terdiri atas syarat subyektyif (sepakat dan kecakapan) serta syarat obyektif (suatu hal tertentu dan causa yang halal).
Konsep hukum perdata Indonesia sendiri menganut asas yang dikenal dengan “asas kebebasan berkontrak” asal tidak bertentang dengan ketertiban umum dan kesusilaan. Asas kebebasan berkontrak ini tidaklah berlaku mutlak karena masih dibatasi oleh peraturan yang terdapat dalam BW yaitu Pasal 1320, Pasal 1337, Pasal 1683 dan Pasal 1338 ayat 3.
Berbicara terkait praktek, sebenarnya tidak ada kebebasan berkontrak secara mutlak antara masing-masing pihak, dimana salah satu pihak dalam perjanjian cenderung memiliki kelebihan dibanding pihak lainnya. Hal inilah yang kemudian membuat salah satu pihak cenderung menggunakan kelebihan yang dimilikinya dalam membuat perjanjian.
Namun demikian, kebebasan berkontrak pada dasarnya harus dihormati dalam pelaksanaannya pada tataran praktis. Pembatalan suatu perjanjian hanya dapat dilakukan apabila ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap yang mengacu pada syarat sahnya perjanjian yaitu melanggar Pasal 1320 ayat 1 dan/atau ayat 2 (dapat dibatalkan) serta melanggar Pasal 1320 ayat 3 dan/atau 4 (batal demi hukum).
Batal demi hukum akibat putusan pengadilan yang berkekuatan hukum menjadikan perjanjian tersebut dianggap tidak pernah ada sejak perjanjian tersebut dibuat, sedangkan dapat dibatalkan akibat putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap menjadikan perjanjian tersebut tidak lagi berlaku sejak putusan berkekuatan hukum tetap.
Selain apa yang disebutkan diatas, alasan pembatalan lainnya suatu perjanjian adalah apa yang dinyatakan dalam Pasal 1321 BW, yaitu adanya cacat kehendak diakibatkan kekhilafan (dwaling), paksaan (dwang) dan/atau penipuan (bedrog).
Selain alasan pembatalan perjanjian sebagaimana disebutkan diatas, berdasarkan praktik hukum dan yurisprudensi dikenal alasan pembatalan perjanjian lainnya yaitu penyalahgunaan keadaan (misbruik van omstandigheden). Beberapa contoh yurisprudensi putusan MvO ini dalam putusan Mahkamah Agung adalah Putusan No. 2485K/sip/1982, Putusan No.3431K/sip/1985 dan Putusan No. 3641K/sip/2001.
Secara konsep, MvO ini dianggap terjadi apabila salah satu pihak dalam melakukan perjanjian berada dalam kondisi keadaan darurat atau keadaan terpaksa atau keadaan pihak lawan berada dalam kondisi psikologis yang sangat kuat atau penyalahgunaan keadaan-keadaan tersebut.
Penggunaan MvO sebagai alasan pembatalan perjanjian kepada majelis hakim pengadilan, pada dasarnya harus memenuhi syarat :
- Keadaan istimewa, keadaan darurat, ketergantungan, ceroboh, jiwa kurang waras dan tidak berpengalaman
- Suatu hal yang nyata, salah satu pihak mengetahui atau semestinya mengetahui pihak lain dalam keadaan istimewa
- Penyalahgunaan, salah satu pihak menutup perjanjian walaupun ia mengetahuiatau mengeti seharusnyaia tidak menutup perjanjian itu.
- Hubungan kausal, dimana tanpa menyalahgunakan keadaan itu maka perjanjian tersebut tidak akan ditutup.
Jadi, pada dasarnya penggunaan MvO dalam pembatalan perjanjian harus melihat posisi masing-masing pihak dalam perjanjian yang dibuat tersebut, dimana MvO ini digunakan untuk melindungi pihak dalam posisi yang lemah dalam menutup sebuah perjanjian yang berhadapan dengan pihak yang memiliki banyak kelebihan. Kekuatan atau kelebihan salah satu pihak dalam perjanjian bisa dari sudut mana pun dan masalahnya bukan hanya pada kekuatan dan kelebihan salah satu pihak tetapi pada bagaimana kekuatan dan kelebihan tersebut digunakan oleh salah satu pihak dalam membuat suatu perjanjian.
0 Response to "PEMBATALAN PERJANJIAN "
Posting Komentar