PRA PERADILAN DALAM HUKUM INDONESIA
Jumat, 15 Agustus 2014
Cara Ajukan Pra Peradilan,
Hukum Acara Pidana,
Hukum Pidana,
Ketentuan Pra Peradilan,
KUHAP,
Perkara Pidana,
Pra Peradilan,
Syarat PraPeradilan
Secara yuridis, praperadilan ditentukan dalam Pasal 1 butir 10 KUHAP yang menyatakan:
“Praperadilan adalah wewenang pengadilan untuk memeriksa dan memutus:
1. Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan, atas permintaan tersangka atau keluarganya atau permintaan yang berkepentingan demi tegaknya hukum dan keadilan;
2. Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan yang berkepentingan demi tegaknya hukum dan keadilan dan;
3. Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan yang berkepentingan demi tegaknya hukum dan keadilan.”
Mengacu kepada pengertian praperadilan dalam Pasal 1 Angka 10 KUHAP tersebut di atas, dipahami bahwa praperadilan merupakan kompetensi absolut suatu pengadilan untuk mengadili sah atau tidaknya suatu proses peradilan pidana meliputi penangkapan dan atau penahanan, dan penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan. Selain itu, praperadilan sebagai kompetensi absolut suatu pengadilan juga menyangkut dengan ganti kerugian dan atau rehabilitasi terhadap seseorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau atau penuntutan. Hal tersebut dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 77 KUHAP yang menentukan:
“Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus sesuai dengan undang-undang ini tentang:
a. Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan dan atau penghentian penuntutan;
b. Ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau atau penuntutan.”
Selanjutnya terkait dengan teknis yudisial yang menyangkut dengan praperadilan diuraikan dalam Pasal 77 KUHAP sampai dengan Pasal 88 KUHAP.
Ganti kerugian sebagai wewenang dari praperadilan diatur dalam Pasal 95 KUHAP dan Pasal 97 KUHAP. Adapun yang dimaksud dengan ganti kerugian berdasarkan ketentuan pasal tersebut adalah keugian yang dialami oleh tersangka dan terdakwa atau terpidana akibat ditangkap, ditahan, dituntut dan diadili atau dikarenakan tindakan lain, tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan yang berdasarkan undang-undang atau kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan. Penjelasan Pasal 95 KUHAP menambahkan bahwa kerugian karena tindakan lain tersebut merupakan kerugian yang ditimbulkan meliputi kerugian yang ditimbulkan oleh pemasukan rumah, penggeledahan dan penyitaan yang tidak sah secara hukum. Tentunya wewenang dari praperadilan mengadili tuntutan ganti kerugian tersebut dapat dilaksanakan ketika perkara tersebut tidak diajukan ke Pengadilan dalam artian perkara tersebut hanya sampai pada tingkat penyidikan dan penuntutan saja.[1]
Sementara itu terkait dengan rehabilitasi sebagai wewenang dari lembaga praperadilan diatur dalam Pasal 1 Angka 23 KUHAP dan Pasal 97 Ayat (3) KUHAP. Pasal 1 Angka 23 KUHAP menyatakan “rehabiitasi sebagai hak seseorang untuk mendapat hak pemulihan haknya dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya yang diberikan pada tingkat penyidikan, penuntutan, atau peradilan karena ditangkap, ditahan, dituntut atau pun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena alasan kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini”. Selanjutnya mengenai tata cara permintaan rehabilitasi dapat diajukan dalam sidang praperadilan sebagaimana ketentuan Pasal 97 Ayat (3) KUHAP, yang menentukan:
“Permintaan rehabilitasi oleh tersangka atas penangkapan atau penahanan tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau kekeliruan mengenai orang atau hukum yang diterapkan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 95 Ayat (1) yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan negeri diputus oleh hakim praperadilan yang dimaksud dalam Pasal 77.”
Berdasarkan ketentuan Pasal 97 Ayat (3) KUHAP di atas, dipahami bahwa tidak semua permintaan rehabilitasi dapat diajukan dalam sidang praperadilan. Permintaan rehabilitasi hanya dapat diajukan dalam sidang praperadilan atas perkara-perkara yang tidak diajukan ke persidangan (pengadilan negeri) meliputi perkara yang terhenti pada tahap penyidikan atau penuntutan..[2]
Merujuk kepada ketentuan Bab X Pasal 77 KUHAP sampai dengan Pasal 83 KUHAP serta Pasal 95 KUHAP samapi Pasal 97 KUHAP dapat dipahami bahwa para pihak yang dapat mengajukan praperadilan adalah:
a. Tersangka, keluarganya melalui kuasa hukum yang mengajukan gugatan praperadilan terhadap kepolisian atau kejaksaan di pengadilan atas dasar sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penyitaan dan penggeledahan;
b. Penuntut umum atau pihak ketiga yang berkepentingan atas dasar sah lam atau tidaknya penghentian penyidikan;
c. Penyidik atau pihak ketiga yang berkepentingan atas dasar sah atau tidaknya penghentian penuntutan;
d. Tersangka atau pihak ketiga yang bekepentingan menuntut ganti rugi tentang sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan (pasal 81 KUHAP);
e. Tersangka, ahli waris atau kuasanya tentang tuntutan ganti rugi atas alasan penangkapan atau penahanan yang tidak sah, penggeledahan atau penyitaan tanpa alasan yang sah atau karena kekeliruan orang atau hukum yang diterapkan, yang perkaranya tidak diajukan ke sidang pengadilan (pasal 95 ayat (2) KUHAP)
Dengan demikian, praperadilan bukanlah suatu lembaga berdiri sendiri atau terpisah dalam sistem peradilan pidana. Hal tersebut ditegaskan oleh M. Yahya Harahap dengan menyatakan bahwa “praperadilan merupakan tugas tambahan yang diberikan oleh KUHAP kepada Pengadilan Negeri yakni menyangkut dengan menilai sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penuntutan yang dilakukan oleh penyidik atau penuntut umum”.[3]
Adapun mekanisme pengajuan praperadilan dilakukan dengan cara membuat permintaaan kepada ketua pengadilan negeri pada pengadilan negeri sesuai dengan wilayah hukum pengadilan negeri yang bersangkutan (kompetensi relative) dengan menyebutkan alasannya. Selanjutnya, permintaan tersebut akan di register dalam register khusus tentang praperadilan. Sesuai dengan ketentuan Pasal 78 ayat (2) KUHAP, Ketua Pengadilan Negeri akan menunjuk seorang hakim tunggal untuk memeriksa perkara praperadilan dengan dibantu dengan seorang panitera. Mengacu kepada ketentuan Pasal 82 KUHAP, dalam waktu 3 (tiga) hari setelah diterimanya permintaan maka hakim yang ditunjuk akan menetapkan hari sidang. Selanjutnya pemeriksaan perkara a quo, dilakukan secara cepat dan selambat-lambatnya tujuh hari hakim pemeriksa perkara a quoharus menjatuhkan putusannya.
Tata cara maupun bentuk putusan dalam praperadilan tidak diatur secara spesifik dalam KUHAP, akan tetapi sesuai dengan sifat cepat dan sederhananya proses persidangan, hakim diharuskan untuk dapat meyesuaikan dalam melaksanakan proses persidangan maupun putusan. Berdasarkan ketentuan Pasal 82 ayat (1) huruf c tentang pengajuan dan tata cara pemeriksaan praperadilan, hakim pemeriksa perkara praperadilan berkewajiban untuk menentukan tahapan persidangan praperadilan dan membuat putusan sesederhana mungkin atau bisa di gabung dengan Berita Acara Sidang asalkan putusan memuat pertimbangan hukum yang lengkap, jelas dan memadai. Ha tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 82 ayat (1) huruf d yang berbunyi: “Dalam hal suatu perkara sudah mulai diperiksa Pengadilan Negeri, sedangkan pemeriksaan praperadilan belum selesai, maka permintaan tersebut gugur".
Oleh karena itu, suatu perkara praperadilan yang diajukan ke Pengadilan Negeri, mutatis mutandis gugur tatkala perkaranya telah diperiksa oleh Pengadilan Negeri dan pada saat perkaranya di periksa Pengadilan Negeri, pemeriksaan praperadilan belum selesai. Hal tersebut bertujuan untuk menghindari adanya perbedaan putusan antara majelis hakim pemeriksa perkara praperadilan dengan majelis hakim yang menangani pokok perkara.
Paska Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 21/PUU-XII/2014, wewenang praperadilan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 77 huruf a KUHAP diperluas. wewenang praperadilan tidak lagi terbatas pada memeriksa dan memutus sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan, sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan, dan permintaan ganti kerugian atay rehabilitasi melainkan mencakup memeriksa dan mengadili sah atau tidaknya penetapan tersangka, penggeledahan dan penyitaan. Hal tersebut dapat dilihat dalam amar Putusan Mahkamah yang menyatakan bahwa Pasal 77 huruf a UU Nomor 8 Tahun 1997 Tentang Hukum Acara Pidana bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat sepanjang tidak dimaknai ternasuk penetapan tersangka
0 Response to "PRA PERADILAN DALAM HUKUM INDONESIA"
Posting Komentar