KONTROVERSI PERMA NOMOR 2 TAHUN 2012


Pemberlakukan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP, pada dasarnya harus dilihat dari sisi semangat dilahirkan peraturan yang berlaku secara internal dalam lingkungan Mahkamah Agung ini. Dalam hal ini haruslah dilihat, apakah Perma ini memberikan rasa keadilan pada masyarakat atau tidak? Untuk menjawab hal ini, maka waktulah yang akan membuktikan efektifitas berlakunya Perma ini. Hal ini dikarenakan selain adanya sikap pro Perma ini, juga muncul kelompok kontra akan kehadiran Perma ini dalam lingkungan penegakan hukum. Pandangan yang kontra akan kelahiran Perma ini pada dasarnya berasal dari pemahaman akan menjamurnya tindak pidana yang nilai kerugiannya di bawah 2,5 juta.


Apabila para ahli hukum membicarakan bahwa pencurian itu adalah suatu tindak pidana, maka para filsuf tidak hanya membicarakan hal-hal yang demikian adanya, karena akan selalu terbentuk dalam ide-ide imajinatif mereka akan pertanyaan-pertanyaan berikut yang bersifat spekulatif dan mendalam, yaitu mengapa pencurian digolongkan dalam tindak pidana yang dilarang!Seberapa besar dan kecilkah suatu pencurian itu hingga dapat dipidana?Mengapa delik  pencurian dapat dikenakan sanksi pidana penjara, kurungan, dan denda?. Begitu pula dengan pengkategorian suatu tindak pidana,  para ahli hukum pidana mungkin hanya berbicara sekitar pembagiannya, penerapan sanksinya, dan pelaksanaanya. Hal ini sangatlah berbeda dengan materi yang selalu dibicarakan para ahli hukum dalam filsafat pemidanaan yang selalu mengkaji tentang ide-ide dasar pemidanaan yang menjernihkan pemahaman tentang hakikat  pemidanaan sebagai tanggungjawab subjek hukum terhadap perbuatan pidana  dan otoritaspublik  kepada negara  berdasarkan atas hukum  untuk melakukan pemidanaan. Sehingga jelas besar kecilnya dan efektif atau tidakkah suatu pemidanaan yang dijatuhkan terhadap suatu delik.
Sebelum kita membahas lebih jauh mengenai aturan pembatasan sanksi pidana denda dalam tindak pidana ringan, penulis hendak mengajak terlebih dahulu untuk mengulas kembali pemahaman mengenai fungsi filsafat pemidanaan dalam perkembangannya. Filsafat pemidanaan mempunyai dua fungsi.
Pertama, fungsi fundamental yaitu sebagai landasan dan asas normatif atau kaidah yang memberikan pedoman, kriteria atau paradigma terhadap masalah pidana dan pemidanaan. Fungsi ini secara formal dan intrinsik bersifat primer dan terkandung di dalam setiap ajaran sistem filsafat. Maksudnya, setiap asas yang ditetapkan sebagai prinsip maupun kaidah itulah yang diakui sebagai kebenaran atau norma yang wajib ditegakkan, dikembangkan dan diaplikasikan.       
Kedua, fungsi teori dalam hal ini sebagai meta teori. Maksudnya, filsafat pemidanaan  berfungsi sebagai teori  yang mendasari dan melatar belakangi setiap teori pemidanaan. Bedasarkan kedua fungsi di atas  dalam proses implementasinya, penetapan sanksi pidana dan tindakan merupakan aktivitas  program legislasi dan/atau yudikasi untuk menormatifkan jenis dan bentuk  sanksi (pemidanaan) sebagai landasan keabsahan penegakan hukum melalui penerapan  sanksi
Dari kedua fungsi tersebut terlihat jelas begitu pentingnya pembelajaran dan pengkajian pemidanaan dari segi filsafat. Karena dengan berfilsafat kita dapat melengkapi tiap celah kekurangan dalam proses legislasi pemidanaannya, terutama proses yudikasi dan pelakasanaannya. Sehingga dengan berpedoman dengan filsafat pemidanaan tersebut kita mengetahui untuk apa ada pemidanaan dan apa sebenarnya hakikat tujuan pemidanaan tersebut. Maka ketika berbicara masalah tujuan hukum maka hal itu tidak akan lari dari bangunan segitiga yang selalu bertemu ditiap sisinya akan tetapi selalu dipertentangkan dan diperdebatkan yaitu keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum. Begitu juga halnya dengan tujuan pemidanaan yang selalu bertemu dilain sisi yang pada hakikatnya memiliki efesiensi yang berbeda-beda. Akan tetapi dalam kesempatan ini hanya akan dibahas mengenai ”model keadilan” yang selama ini sering dibicarakan dalam tujuan pemidanaan.
Pada dasarnya, kelahiran Perma ini bukan sekedar mengacu pada nilai uang dalam suatu tindak pidana. Hal ini tentu harus dipahami oleh semua pihak, karena pemberlakuan Perma ini bukanlah ditujukan pada semua jenis tindak pidana yang ada dalam KUHP, tetapi sekedar diberlakukan pada kategori tindak pidana ringan belaka.
Hal ini tentunya menjadi “pekerjaan tambahan” guna memberikan pemahaman yang lebih jauh akan pemberlakukan Perma ini dalam struktur penegakan hukum. Publik harus diberikan pemahaman mengenai tindak pidana ringan karena boleh jadi tidak semua public memahami apa yang disebut dengan tindak pidana ringan dalam KUHP.
Dalam kacamata teknis hukum, tindak pidana ringan adalah suatu tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara atau kurungan maksimal 3 (tiga) bulan dan/atau denda sebanyak-banyaknya Rp 7.500,- dan penghinaan ringan. Jadi, substansi pemberlakuan Perma ini bukanlah pada tindak pidananya melainkan pada kategori atau jenis tindak pidana yang dilakukan yaitu tindak pidana yang ancamannya maksimal 3 (bulan) penjara atau kurungan dan/atau denda maksimal Rp 7.500,- serta tindak pidana yang tidak perlu ditahan.
Adapun Pasal-Pasal dari Perma no.2 Tahun 2012 tersebut antara lain :
1)      Pasal 1, dijelaskan bahwa kata-kata “dua ratus lima puluh rupiah” dalam Pasal 364, 373, 379, 384, 407 dan 482 KUHP dibaca menjadi Rp 2.500.000,00 atau dua juta lima ratus ribu rupiah. 
2)      Pasal 2 ayat (1), dalam menerima pelimpahan perkara pencurian, penipuan, penggelapan, penadahan dari penuntut umum, ketua pengadilan wajib memperhatikan nilai barang atau uang yang menjadi obyek perkara dan memperhatikan pasal 1 di atas
3)      Pasal 2 ayat (2) dan ayat (3) dijelaskan, apabila nilai barang atau uang tersebut bernilai tidak lebih dari Rp 2,5 Juta, Ketua Pengadilan segera menetapkan Hakim Tunggal untuk memeriksa, mengadili dan memutus perkara tersebut dengan Acara Pemeriksaan Cepat yang diatur dalam Pasal 205-210 KUHAP dan Ketua Pengadilan tidak menetapkan penahanan ataupun perpanjangan penahanan
4)      Pasal 3 mengenai denda, dipersamakan dengan pasal mengenai penahanan pada Perma Nomor 2 Tahun 2012 yaitu dikalikan 10 ribu dari tiap-tiap denda misalnya, Rp 250 menjadi Rp 2,5 juta sehingga denda yang dibawah Rp 2,5 juta tidak perlu masuk dalam upaya hukum kasasi.
5)      Pasal 4, menangani perkara tindak pidana yang didakwa dengan pasal-pasal KUHP yang dapat dijatuhkan pidana denda, hakim wajib mmeperhatikan pasal 3 di atas
6)      Pasal 5, peraturan Mahkamah Agung ini mulai berlaku pada hari ditetapkan
Diterbitkannya Perma ini ditujukan untuk menyelesaikan penafsiran tentang nilai uang pada Tipiring dalam KUHP. Perma ini diharapkan mampu memberikan kemudahan kepada terdakwa yang terlibat dalam perkara tipiring agar tidak perlu menunggu persidangan berlarut-larut sampai ke tahap kasasi seperti yang terjadi pada kasus Nenek Rasminah. Perma ini juga diharapkan agar dapat menjadi jembatan bagi para hakim sehingga mampu lebih cepat memberikan rasa keadilan bagi masyarakat terutama bagi penyelesaian Tipiring sesuai dengan bobot tindak pidananya. Perma ini juga ditujukan untuk menghindari masuknya perkara-perkara yang berpotensi mengganggu rasa keadilan yang tumbuh di tengah masyarakat dan secara tidak langsung akan membantu sistem peradilan pidana untuk bekerja lebih efektif dan efisien.
Penerapan Perma No. 02 tahun 2012 ini sebenarnya hanya berlaku bagi hakim pengadilan, dan tidak berlaku bagi penyidik dalam hal ini penyidik Polri dan Kejaksaan (sesuai yang tercantum dalam pasal 2). Namun demikian, yang menjadi persoalan adalah mengenai apakah tersangka akan dikenakan penahanan atau tidak. Hal ini mengingat dalam pasal 2 (3) Perma 02/2012 ini dijelaskan bahwa “apabila terdakwa sebelumnya dikenakan penahanan, maka  Ketua Pengadilan tidak menetapkan penahanan atau perpanjangan penahanan”.
Perma mengenai penyesuian batasan tindak pidana ringan dan jumlah denda ini memang banyak menuai kritik, terutama dari kalangan kepolisian, kejaksaan dan para ahli hukum pidana lainnya. Tinjauan aspek filosofis akan hal ini telah penulis bahas di atas, selanjutnya penulis akan memaparkan tinajauan kritis dari aspek yuridis berkaitan hal ini. Sebelum melangkah lebih jauh mengenai tinjauan kritis ini, sejenak kita kembali membahas akan esensi tindak pidana ringan beserta macam-macamnya. Di dalam Buku II KUHPidana tidak ditempatkan rangkaian pasal Tipiring dalam satu bab tersendiri melaikan letaknya tersebar pada berbagai bab dalam Buku II KUHPidana. Pasal-pasal yang merupakan kejahatan ringan ini adalah sebagai berikut:
1.    Penganiayaan hewan ringan (Pasal 302 ayat [1] KUHPidana)
2.    Penghinaan ringan (Pasal 315 KUHPidana)
3.    Penganiayaan ringan (Pasal 352 ayat [1] KUHPidana)
4.    Pencurian ringan (Pasal 364 KUHPidana)
5.    Penggelapan ringan (Pasal 373 KUHPidana)
6.    Penipuan ringan (Pasal 379 KUHPidana)
7.    Perusakan ringan (Pasal 482 KUHPidana)
Namun dalam tulisan ini penulis hanya membahas poin 4-7 dari beberapa kategori Tipiring di atas, karena perihal tersebut memiliki keterkaitan pembahasan dengan tinjauan penulis akan batasan jumlah denda yang ditetapkan dalam Perma No. 02 Tahun 2012.
Dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yaitu undang –undang No. 08 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, dibedakan antara tiga macam acara pemerikasaan, yaitu:
1.      Acara Pemeriksaan Biasa
2.      Acara Pemeriksaan Singkat
3.      Acara Pemeriksaan Cepat, yang terdiri dari:
a.       Acara Pemerikasaan Tindak Pidana Ringan; dan
b.      Acara Pemeriksaan Perkara pelanggaran Lalu Lintas Jalan.
Mengenai Tipiring, dalam pasal 205 ayat (1) KUHAP, dikatakan bahwa yang diperiksa menurut acara pemeriksaan Tipiring ialah perkara yang diancam dengan pidana penjara atau kurungan paling lama 3 bulan atau denda sebanyak-banyak Rp. 7.500,00 dan penghinaan ringan.
Perbedaan antara Perma tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP yang dikeluarkan oleh MA, dengan KUHAP tentang Tipiring itu sendiri. Perma menekankan Tipiring itu sendiri pada batasan nilai uang dengan jumlah Rp. 2.500.000,00 sedangkan di dalam KUHAP menekankan Tipiring pada jumlah kurungan paling lama 3 bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 7.500,00. Perma tersebut diakui di dalam hierarki peraturan perundang-undangan,akan tetapi Perma tersebut hanya dikeluarkan sepihak yang berimplikasi dalam penegakan hukum yang bersifat parsial. Karena peraturan yang dikeluarkan oleh MA seharusnya ada koordinasi lebih jauh antara MA, Kepolisian, dan juga Kejaksaan agar ada singkronisasi antara penegak hukum lainnya.
Serlain itu, masalah penahanan juga merupakan problem yang diragukan keabsahannya. Dalam KUHAP penahanan hanya dapat dilakukan terhadap tindak pidana yang ancaman hukumannya lima tahun atau lebih, berdasarkan hal ini maka tindak pidana ringan tidak dapat dikenakan penahanan, karena ancaman pidananya adalah 3 bulan penjara. Jika kita mendalami lebih dalam lagi apakah para pelaku tindak pidana dengan ancaman dibawah lima tahun sudah dapat dijamin keamanannya, demikian juga dengan alasan subjektif dan objektif yang dikhawatirkan dapat terlaksana dengan ditiadakannya penahanan,apalagi sering ada kebiasaan di antara penyidik dan kejaksaan bahwa para pelaku Tipiring tidak memiliki tempat tinggal tetap. Maka dengan ini pada RUU KUHP dan KUHAP kelak penulis berharap akan diperhatikannya hal-hal yang demikian ini, karena kitab yang hendak di jadikan pacuan dan pedoman adalah merupakan kesatuan yang tidak terpisahkan, sehingga hal-hal yang dianggap kecil perlu juga untuk mendapat perlindungan hak yang tegas dan tanpa tebang pilih.
Ketika dalam sebuah penegakkan hukum hanya dilihat dari ukuran nilai uang, terlebih pada saat Mahkamah Agung (MA) mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 02 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP. Hal tersebut hanya akan bersifat parsial, tidak komprehensif dan holistik mengapa demikian?
Pertama, fakta di lapangan menunjukkan bahwa masyarakat mempunyai tingkat pendapatan yang berbeda-beda, ketika banyak perbedaan pendapatan ditiap wilayah. Setelah dikeluarkannya perma tersebut MA menyatakan bahwa suatu tindak pidana baru bisa dikatakan Tindak Pidana Ringan (Tipiring) ketika angkanya dibawah Rp. 2.500.000,00. Mungkin masyarakat kota yang mempunyai pendapatan yang cukup besar, ketika hartanya dicuri oleh orang lain berjumlah Rp. 100.000,00 dia hanya mengatakan “biarkan saja”, namun ketika masyarakat desa uangnya dicuri dengan nilai yang sama padahal uang tersebut sangat berarti baginya, dan ujung-ujungnya pelaku hanya dikenai Tipiring. Hal ini akan berimplikasi mencederai rasa keadilan masyarakat, karena Perma tersebut hanya melindungi pelaku, akan tetapi tidak bisa melindungi korban itu sendiri.
Kedua, hukum bukan suatu institusi yang selesai, tetapi sesuatu yang diwujudkan secara terus menerus, oleh karena itu ketika Perma ini dikeluarkan sesuatu baru bisa dikatakan Tipiring apabila jumlahnya di bawah kisaran Rp. 2.500.000,00. Namun seperti kita ketahui bahwa nilai uang terus mengalamifluktuasi, hal tersebut akan berimplikasi pada “kegamangan” hakim dalam mengambil keputusan untuk menentukan kisaran nilia uang Tipiring tersebut. Satjipto Rahardjo mengatakan bahwa “Hukum adalah untuk manusia dan bukan sebaliknya, dan hukum itu tidak untuk dirinya sendiri; melainkan untuk sesuatu yang lebih luas, yaitu, untuk harga diri manusia, kebahagiaan, kesejahteraan, dan kemuliaan manusia”.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "KONTROVERSI PERMA NOMOR 2 TAHUN 2012"

Posting Komentar